Jum'ah 17 Syawal 1445 - 26 April 2024
Indonesian

Seringkali Ragu Dan Jangan Pedulikan Akan Keraguannya

Pertanyaan

Saya membaca ungkapan dari syekh Muhammad Ulaisy dalam kitab ‘Minahul Jalil’ dan tidak disyaratkan persangkaan kuat bagi orang yang seringkali ‘ragu-ragu’ karena ketidakmampuan darinya. Dan cukup adanya ‘keraguan di dalamnya’. Mohon dijelaskan artinya dan sejauh mana kebenaran dalam mengamalkannya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Syekh Muhammad Ulaisy rahimahullah mengatakan, “Kewajibannya -maksudnya diantara kewajiban mandi- (menggosok dengan kuat) maksudnya menyiram anggota tubuh atau lainnya yang dibasuh. Cukup di dalamnya persangkaan kuat menurut pendapat terkuat. Karena hal itu cukup sampai yang wajib saja menurut kesepakatan ulama’ (Ijma’) dan tidak disyaratkan persangkaan kuat bagi orang yang seringkali ragu. Karena ketidak mampuannya dan cukup baginya ragu di dalamnya, dan seharusnya dia dibiarkan darinya, karena tidak ada obat kecuali seperti ini saja. Selesai dari ‘Minahul Jalil, (1/127).

Kata-kata ‘الاستنكاح' menurut ahli fikih dalam permasalah seperti ini, yang mereka maksudkan adalah terkalahkan atau seringkali. Maka ‘seringkali ada keraguan’ maksudnya seringkali ada padanya dan serikali datang serta terkalahkan olehnya. Ungkapan ini terkenal dalam madzhab Malikiyah.

Telah ada dalam ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (4/128), “Dalam kamus ‘Tajul ‘Arus’ dan ‘Asasul Balagoh’ dari ungkapan استنكح النوم عينه terkalahkan (maksudnya terkalahkan matanya dengan tidur), dan para ahli fikih Malikiyah saja yang mengungkapkan dengan ungkapan seperti ini tentang arti terkalahkan sesuai dengan arti Bahasa, mereka mengatakan, ‘استنكحه الشك seringkali ragu. Sementara para ahli fikih lainnya mengungkapkan hal itu dengan seringkali ragu atau banyak sekali sehingga menjadi kebiasaan baginya. Selesai

Kreteria banyak ragu atau seringkali ragu adalah terus bersamanya setiap hari dan tidak terlepas darinya.

Khottobi dalam kitab ‘Mawahibul Jalil, (1/466) mengatakan, “kata ‘المستنكح ‘adalah orang yang seringkali ragu dalam setiap berwudhu atau shalat atau datang padanya setiap hari sekali atau dua kali. Kalau tidak datang padanya dua atau tiga hari maka tidak dinamakan ‘Mustankih’. Selesai

Kesimpulannya bahwa arti ungkapan dalam kitab ‘Munahul Jalil’ adalah cukup mengusapkan adalah persangkaan kuat bahwa dia telah membasuh pada anggota tubuh yang dibasuh. Karena hal itu cukup sampainya air dalam berwudhu. Hal ini bagi orang yang tidak sering ragu.

Sementara bagi orang yang sering ragu-ragu, maka tidak diminta untuk persangkaan kuat, untuk mendapatkan bersuci, bahkan cukup sekedar persangkaan saja sudah mendapatkan suci. Meskipun bukan persangkaan kuat. Maka seringkali ragu-ragu termasuk alasan baginya dalam meninggalkan penekanan/pijatan karena perintah dalam menekankan akan menjadi kesulitan sekali baginya. Sementara ajaran ini datang dengan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Allah Ta’ala berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر البقرة /185

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” QS. Al-Baqarah: 185.

Dan firman-Nya:

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ  المائدة/6

“Allah tidak ingin menyulitkan kamu.” QS. Al-Maidah: 6

Karena seringkali ragu obatnya adalah dengan tidak memperhatikannya, karena kalau orang yang ragu-ragu memperhatikan pada setiap keraguannya, maka akan semakin bertambah ragu dan was-was akan mendominasi dirinya.

Dardir dalam kitab ‘As-Syarkhus Shogir’, (1/170) mengatakan, “(Kalau seorang yang tidak termasuk mustangkih (orang yang seringkali ragu) ragu-ragu pada titik yang ia telah menyiramnya); kalau orang yang tidak sering ragu-ragu, dia ragu pada titik tertentu di badannya, apakah sudah terkena air ?, maka dia harus menyiramnya dengan menuangkan air dan menekannya.

Sementara seorang mustangkih (orang yang seringkali ragu-ragu); yaitu orang yang seringkali mendapatkan keragu-raguan- maka seharusnya dia berpaling darinya, karena kalau terus menerus mengikuti was-wasnya, maka akan merusak dasar beragamanya. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.

As-Showi dalam catatan kakinya mengatakan, “Ungkapan (Kalau ragu) dan seterusnya…, maksudnya untuk memastikan harus membasuh semua tubuhnya dan cukup dengan persangkaan kuat yang menjadi patokan bagi orang yang tidak seringkali ragu. Dan ungkapan (Diharuskan baginya) maksudnya adalah tidak cukup kecuali dengan kayakinan atau persangkaan kuat.

Al-Adwi mengatakan terkait dengan orang yang seringkali ragu dan apa yang harus dilakukan,”Cukup dengan apa yang diragukannya, tidak membutuhkan persangkaan maupun persangkaan kuatnya. Serta tidak perlu mengulangi mandinya. Selesai dari kitab ‘Kifayatut Tolib Ar-Rabbani, (1/216).

‘Orang yang seringkali ragu (mustankih) harus menyingkirkan keragu-raguannya. Tidak disyaratkan baginya persangkaan kuat, bahkan cukup mengamalkan apa yang dirasakan terus menerus dan cukup itu saja. Ini yang dikatakan oleh guru kami. Selesai dari ‘Hasyiyah Dasuqi ‘alas As-Syarkhil Kabir, (1/135).

Dikatakan bahwa seorang mustankih adalah orang yang seringkali ragu melakukan dengan apa yang ada dalam benak fikiran yang ada dalam hatinya dan membiarkan lintasan dalam fikiran selanjutnya.

Telah ada dalam kitab ‘At-Taudhih Syarkh Mukhtasor Ibnul Hajib, (1/163), “Sementara orang yang seringkali ragu yang menjadi patokan adalah yang pertama kali terlintas difikirannya. Dan ini telah disepakati. Maksud dari ‘Mustankih’ adalah orang yang seringkali ragu.

Apa yang disebutkan bahwa yang menjadi patokan adalah lintasan pertama kali adalah perkataan sebagian orang desa dan sebagain ulama’ mutaakhirin (kalangan zaman terakhir) mereka mengatakan, “Karena apa yang terlintas pertama kali di fikirannya itu adalah fikiran yang sehat, sementara setelahnya itu mirip dengan orang yang tidak berakal.

Ibnu Abdus salam mengatakan, “Yang Nampak dalam kitab Mudawwanah dan lainnya adalah gugur tanpa melihat yang terlintas sama sekali, dan ini yang dikuatkan oleh Sebagian orang yang pernah kami temui dan berpendapat dengannya. Disebutkan bahwa hal itu Kembali kepada Sebagian ulama’ timur dimana beliau memberikan arahan bahwa orang yang seringkali ragu -dan orang yang semisal sifatnya seperti ini – tidak dapat menjadi patokan lintasan pertama dan selanjutnya. Dan kenyataan menguatkan hal itu. Selesai

Silahkan melihat ‘At-Taj Wal Iklil, (1/301), ‘At-Taj Wal Iklil, (2/19). 

Wallahu’alam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam