Jum'ah 19 Ramadhan 1445 - 29 Maret 2024
Indonesian

10 Dalil Naqli dan Aqli Yang Menyatakan Bahwa Al Qur’an Adalah Kalamullah Bukan Makhluk

Pertanyaan

Saya berharap agar anda menjelaskan kepada kami tentang cara bermuamalah dengan syubhat-syubhat pelaku bid’ah, khususnya bid’ahnya pernyataan bahwa al Qur’an adalah makhluk, saya berharap agar anda merinci bagaimana cara menjawab syubhat mereka, disertai dengan penyebutan buku-buku para ulama yang terpercaya yang telah menjelaskan dengan panjang lebar untuk menolak ahli bid’ah dalam masalah ini.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Untuk menjawab bid’ah bertumpu pertama kali pada penguasaan tentang sunnah, penguasaan dasar-dasar aqidah, memposisikan ilmu pada konsep yang benar yang bertumpu pada al Qur’an dan Sunnah.

Hal ini tidak akan sempurna hanya dengan fatwa-fatwa yang terpecah belah, atau dengan bacaan yang tidak sistematis, akan tetapi dengan cara belajar secara sistematis dengan menuntut ilmu untuk mengetahui dasar-dasarnya yang akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti, menghafal, memahami dan mendapatkannya. Pada saat itulah memungkinkan baginya untuk memahami syubhat, memahami perkataan para ulama, menganalisa kejanggalan yang menyisakan permasalah aqidah yang besar seperti ini.

Kami di sini akan memberikan contoh kecil saja yang memungkinkan untuk dijadikan dasar bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan menolak syubhat bahwa al Qur’an adalah makhluk, dengan singkat dan padat kami nukil dari salah satu penelitian khusus, dengan demikian semoga anda mengetahui sedikit tentang hal-hal yang memungkinkan untuk didiskusikan dalam masalah-masalah akidah, keluasannya, rinciannya dan membutuhkan pembahasan dan penelitian.

Adalah memungkinkan dengan 10 dalil untuk menyatakan Al Qur’an al Karim adalah kalamullah bukan makhluk, dalil-dalil tersebut adalah:

Dalil pertama:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ )الأعراف/ 54.

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al A’raf: 54)

Berhujjah dengan ayat ini dari dua sisi:

Pertama:

Bahwa Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara menciptakan dan memerintah, keduanya adalah bagian dari sifat-sifat-Nya, menyandarkan keduanya kepada Dzat-Nya. Adapun penciptaan adalah perbuatan-Nya, sedangkan perintah-Nya adalah firman-Nya. Hukum asal dari dua kata yang digabungkan masing-masing mempunyai arti yang berbeda, kecuali jika ada indikasi yang menyatakan tidak demikian, dalam ayat tersebut ada banyak indikasi yang menguatkan adanya perbedaan antara keduanya di antaranya adalah sebagaimana yang akan disebutkan kemudian.

Kedua:

Bahwa penciptaan itu tidak terjadi kecuali dengan perintah, sebagaimana firman Alloh –Ta’ala-:

( إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ ) يس/ 82 .

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia”. (QS. Yaasiin: 82)

Firman Alloh: “Kun !” adalah perintah-Nya, jika dianggap sebagai makhluk pasti ciptaan-Nya tersebut membutuhkan perintah, perintah membutuhkan perintah, dan demikian seterusnya, yang demikian itu bisa dipastikan kebatilannya.

Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan ayat ini atas Jahmiyah dan Mu’tazilah, beliau berkata:

“Pendapat saya: “Alloh berfirman:

( ألا له الخلق والأمر )

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Dia telah membedakan antara penciptaan dan perintah”. (Diriwayatkan dari Ibnu Hambal dalam Al Mihnah: 53)

Beliau juga berkata kepada mereka:

“Firman Alloh:

( أتى أمر الله ...) [النحل: 1]

“ Telah pasti datangnya ketetapan Allah”. (QS. An Nahl: 1)

Maka perintah-Nya, firman-Nya dan kekuasaan-Nya bukanlah makhluk, maka janganlah kalian membenturkan sebagian kitabullah dengan sebagian lainnya”. (Diriwayatkan dari Ibnu Hambal dalam Al Mihnah: 54)

Beliau juga menyampaikan dalam surat kepada Al Mutawakkil pada saat ditanya tentang masalah al Qur’an:

“Alloh –Ta’ala- telah berfirman:

( وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ )التوبة/ 6

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At Taubah: 6)

Dia juga berfirman:

( ألا له الخلق والأمر )

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Dia (Alloh) telah mengabarkan dengan kata: “penciptaan” kemudian berfirman: “dan perintah”, maka Dia Alloh telah menjelaskan bahwa perintah bukanlah penciptaan”. (Diriwayatkan oleh Sholeh anaknya beliau dalam Al Mihnah: 120-121)

Imam Sufyan bin Uyainah al Hilali al Hafidz, dipercaya dan cerdas yang merupakan guru dari Imam Ahmad telah mendahului beliau dalam berhujjah seperti ini, beliau berkata:

“Alloh –‘Azza wa Jalla- berfirman:

( ألا له الخلق والأمر )

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)

Yang dimaksud dengan “Al Kholqu” pada ayat tersebut bahwa Alloh –Tabaraka wa Ta’ala- telah menciptakannya, sedangkan “Al Amru” yaitu Al Qur’an”. (Diriwayatkan oleh Al Aajiri dalam Asy Syari’ah: 80 dengan sanad yang baik)

Dalil kedua:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( الرَّحْمَنُ . عَلَّمَ الْقُرْآنَ . خَلَقَ الْإِنْسَانَ )الرحمن/ 1 – 3 .

“ (Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan manusia”. (QS. Ar Rahman: 1-3)

Alloh –Ta’ala- telah membedakan antara llmu-Nya dan ciptaan-Nya, Al Qur’an adalah ilmu-Nya sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya. Ilmunya Alloh berbeda dengan makhluk-Nya. Alloh –Ta’ala- berfirman:

( قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ )البقرة/ 120.

“Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al Baqarah: 120)

Alloh –Ta’ala- telah menamakan Al Qur’an sebagai ilmu, Nabi telah mendapatkannya dari Tuhannya, Dialah Alloh yang telah mengajarkan kepadanya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan ilmu-Nya bukanlah makhluk, jikalau ilmu-Nya makhluk maka Alloh akan bersifat dengan lawan katanya sebelum menciptakan, Maha Tinggi Alloh dan Maha Suci Alloh dari semua hal itu.

Imam Ahmad –rahimahullah- telah berhujjah dengan hal itu, beliau sampaikan dalam kisah diskusi beliau dengan Jahmiyyah di majelisnya Al Mu’tashim:

“Abdurrahman Al Qazzaz berkata kepada saya: “Alloh ada sebelum Al Qur’an”. Saya jawab: “Kalau begitu maka Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu..”, dia terdiam. “Kalau dia mengklaim bahwa Alloh ada namun tidak mempunyai ilmu, maka dia telah berlaku kafir kepada Alloh”. (Diriwayatkan oleh Hambal dalam Al Mihnah: 45)

Dikatakan juga kepada beliau –rahimahullah-:

“Suatu kaum berkata: “Jika seseorang berkata: “kalamullah bukanlah makhluk”. Mereka berkata: “Siapa imam anda dalam masalah ini ?, dari mana ucapanmu bahwa Al Qur’an bukan makhluk ?”

Beliau berkata:

“Hujjahnya adalah firman Alloh –Tabaaraka wa Ta’ala- :

( فمن حاجك فيه من بعد ما جاءك من العلم )

“Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)”. (QS. Ali Imron: 61)

Dan tidaklah yang datang kepada beliau kecuali Al Qur’an”.

Beliau –rahimahullah- juga berkata:

“Al Qur’an bagian dari ilmu Alloh, maka barang siapa yang mengklaim bahwa ilmu Alloh adalah makhluk maka dia telah menjadi kafir”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hani’ dalam Al Masa’il: 2/153-154)

Dalil yang ketiga:

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا )الكهف/ 109.

“Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al Kahfi: 109)

Alloh –Ta’ala- berfirman:

( وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ )لقمان/ 27.

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Luqman: 27)

Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan –dan firman-Nya adalah benar- bahwa kalimat-kalimat-Nya tidak terbatas, kalau saja semua lautan yang telah Dia ciptakan dijadikan tinta untuk menulisnya, dan semua pohon menjadi penanya, maka akan habis tinta semua lautan tersebut, penanya pun akan rusak, sedangkan kalimat-kalimat Alloh belum habis. Penjelasan ini maksudnya adalah tentang keagungan kalam Alloh –Ta’ala- dan kalam tersebut adalah sifat dan ilmu-Nya. Hal ini tentunya tidak bisa dianalogikan dengan kalamnya makhluk yang akan musnah, jika kalam Alloh adalah makhluk maka akan habis sebelum habisnya tinta satu lautan dari semua lautan yang ada; karena Alloh telah menetapkan kerusakan pada semua makhluk tidak pada Dzat dan sifat-Nya.

Dalil Keempat:

Nama-nama Alloh –Ta’ala- di dalam Al Qur’an seperti: (Alloh, Ar Rahman, Ar Rahim, As Samii’, Al ‘Aliim, Al Ghafuur, Al Kariim) dan lainnya dari Asma’ul Husna, semua itu adalah bagian dari kalam-Nya; karena Dia-lah sendiri yang menamakannya dengan nama-nama tersebut, baik secara lafadz maupun maknanya.

Alloh –Ta’ala- telah menyamakan antara bertasbih pada Dzat-Nya dan bertasbih dengan Nama-nama-Nya, Alloh –Ta’ala- berfirman:

 ( سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى ) الأعلى/ 1،

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. (QS. Al A’la: 1)

Alloh –Ta’ala- juga telah menyamakan antara berdo’a kepada Dzat-Nya dan berdo’a kepada Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

( وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا )الأعراف/180

“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”. (QS. Al A’raf: 180)

Demikian juga Alloh –Ta’ala- menyamakan antara berdzikir kepada-Nya dengan berdzikir kepada Nama-nama-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

( وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا )الإنسان/25 .

“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang”. (QS. Al Insan: 25)

Tasbih, do’a dan dzikir tersebut jika dilakukan kepada makhluk, maka berarti kufur kepada Alloh.

Jika dikatakan: “Sungguh kalam Alloh –Ta’ala- adalah makhluk”.

Maka berarti nama-nama-Nya termasuk di dalamnya, dan barang siapa yang mengklaim demikian, maka dia telah menjadi kafir sebagaimana yang telah kami sebutkan; karena hal itu mengandung arti bahwa Alloh –Ta’ala- tidak mempunyai nama-nama tersebut sebelum menciptakan kalam-Nya. Maka juga berarti orang yang bersumpah dengan salah satu dari nama-nama-Nya adalah musyrik; karena dia telah bersumpah kepada makhluk, sedangkan makhluk bukanlah sebagai Al Kholiq (pencipta).

Dengan hujjah inilah sekelompok ulama salaf dan para imam berdalil bahwa Al Qur’an bukanlah makhluk, di antara mereka adalah:

Imam Hujjah Sufyan bin Sa’id ats Tsauri berkata:

“Barang siapa yang berkata: “قل هو الله أحد، الله الصمد  “ adalah makhluk, maka dia telah menjadi kafir”. (Diriwayatkan oleh Abdullah dalam As Sunnah: 13 dengan sanad yang baik)

Imam Syafi’i berkata:

“Barang siapa yang bersumpah dengan salah satu nama dari nama-nama Alloh, lalu dia melanggarnya maka wajib membayar kaffarat; karena nama Alloh bukanlah makhluk, dan barang siapa yang bersumpah dengan Ka’bah atau dengan Shofa dan Marwah maka tidak wajib membayar kaffarat; karena dia adalah makhluk, sedangkan nama-Nya bukanlah makhluk”. (HR. Ibnu Abi Hatim dalam Adab Syafi’i: 193 dengan sanad yang benar)

Ahmad bin Hambal berkata:

“Nama-nama Alloh yang ada di dalam Al Qur’an, dan Al Qur’an termasuk ilmu Alloh, barang siapa yang mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk maka dia menjadi kafir, dan barang siapa yang mengklaim bahwa nama-nama Alloh adalah makhluk maka dia menjadi kafir”. (HR. Sholeh dalam Al Mihnah: 52, 66-67)

Dalil kelima:

Alloh –Ta’ala- telah mengabarkan bahwa Al Qur’an telah diturunkan oleh-Nya dan disandarkan kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

( تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ )السجدة/ 2

“Turunnya Al Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam”. (QS. As Sajdah: 2)

Dia juga berfirman:

( وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) الأنعام/114

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya”. (QS. Al An’am: 114)

Dia juga berfirman:

( قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ) النحل/ 102

“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar”. (QS. An Nahl: 102)

Dia (Alloh) tidak menyandarkan sesuatu yang diturunkan kepada Dzat-Nya kecuali kalam-Nya, hal ini menunjukkan adanya kekhususan dari sisi artinya, maka hal itu tidaklah sama dengan turunnya hujan, besi dan lain sebagainya. Kesemuanya itu Alloh telah mengabarkan bahwa juga diturunkan, akan tetapi tidak menyandarkan kepada Dzat-Nya secara langsung, berbeda dengan kalam (firman) Nya, kalam itu adalah sifat, sedangkan sifat itu tidak disandarkan kecuali kepada yang memilikinya tidak kepada yang lainnya, jika sifat itu adalah makhluk, maka akan berpisah dengan penciptanya dan tidak sah menjadi sifat-Nya; karena Alloh –Ta’ala- tidak membutuhkan makhluknya dan tidak memiliki sedikitpun dari sifat makhluk-Nya.

Dalil yang keenam:

Dari Khoulah bin Hakim As Sulaimiyyah berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ ) رواه مسلم (2708).

“Barang siapa yang singgah di suatu tempat kemudian berkata: “Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Alloh yang sempurna dari keburukan semua makhluk”, maka tidak akan membahayakannya sesuatu apapun sampai dia beranjak dari tempat singgah tersebut”. (HR. Muslim: 2708)

Jikalau kalimat-kalimat-Nya adalah makhluk, berarti meminta perlindungan kepadanya adalah syirik; karena meminta perlindungan kepada makhluk. Sebagaimana diketahui bahwa meminta perlindungan kepada selain Alloh, nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah syirik, maka bagaimana mungkin Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan kepada umatnya sebuah kesyirikan yang nyata, sedangkan beliau yang membawa ajaran tauhid yang murni ??!.

Maka hal ini menunjukkan bahwa kalimat-kalimat Alloh –Ta’ala- bukanlah makhluk.

Nuaim bin Ahmad berkata:

“Tidak boleh meminta perlindungan kepada makhluk, tidak juga dengan ucapan hamba, jin, manusia dan malaikat”.

Al Bukhori berkata setelah itu:

“Dalam hal ini menjadi dalil bahwa kalamullah itu bukan makhluk dan selain dari itu adalah makhluk”. (Baca Kholqu Af’aalil ‘Ibaad: 143)

Dalil ketujuh:

Hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( فضل كلام الله على سائر الكلام كفضل الله على سائر خلقه ) حديث حسن ، أخرجه عثمان الدارمي في " الرد على الجهمية " رقم : (287، 340) ، واللالكائي رقم : (557).

“Keutamaan firman Alloh atas semua jenis ucapan sama halnya dengan keutamaan Alloh atas semua makhluk-Nya”. (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Utsman Ad Darimi dalam Ar Raddu ‘alal Jahmiyyah: 287 dan 340 dan Al Lalika’i: 557)

Hadits ini mengandung penguatan akidah salaf bahwa Al Qur’an kalamullah bukan makhluk, hal itu bisa dilihat dari dua sisi:

1.Adanya perbedaan antara kalamullah dengan kalam lainnya. Kalam itu bisa berupa kalamullah yang merupakan sifat-Nya atau kalamnya makhluk yang diciptakan oleh Alloh, maka yang menjadi sifat Alloh disandarkan kepada-Nya, dan selain kalamullah disandarkan secara umum; agar mencakup semua kalam yang disandarkan kepada selain Alloh, jikalau semuanya dianggap makhluk maka tidak dibutuhkan lagi adanya perbedaan antara keduanya.

2.Menjadikan perbedaan antara kalamullah dengan kalam lainnya, seperti halnya perbedaan antara Dzat-Nya dengan dzat lainnya, maka kalam dan sifat-Nya dijadikan sesuai dengan Dzat dan dan sifat-Nya. Sebagaimana kalam dan sifat makhluk sesuai dengan dzat dan sifatnya.

Imam Utsman bin Sa’id ad Darimi telah berhujjah dengan pernyataan di atas di dalam “Ar Raddu ‘Alal Jahmiyyah”: 162-163, setelah menyebutkan beberapa hadits dalam masalah ini beliau berkata:

“Beberapa hadits di atas menjelaskan bahwa Al Qur’an itu bukanlah makhluk; karena tidak satu pun dari para makhluk mempunyai tingkatan keutamaan antara keduanya, sebagaimana tingkatan keutamaan antara Alloh dengan makhluk-Nya; karena keutamaan antara sesama makhluk bisa diketahui dan terukur. Namun tingkatan keutamaan antara Alloh dengan makhluk-Nya tidak bisa diukur, tidak satu pun yang mampu menghitungnya, demikian juga tingkatan keutamaan antara kalamullah dengan kalam para makhluk, jika kalamullah dianggap makhluk maka tidak perlu dibedakan keutamaan kalamullah dengan kalam yang lain, sebagaimana keutamaan Alloh atas makhluk-Nya, tidak juga seperti puluhan jilid dengan ribuan jilid, tidak sama juga dengan pemahaman yang dekat yang bisa difahami, karena tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia, maka tidaklah serupa kalam-Nya dengan kalam lainnya dan tidak akan didatangkan yang serupa dengannya selamanya”.

Dalil ke delapan:

Termasuk dalil aqli yang nampak jelas adalah bahwa jika kalamullah dianggap makhluk, maka tidak keluar dari salah satu dari dua hal berikut ini:

1.Menjadi makhluk setara dengan Dzat Alloh

2.Menjadi terpisah dan berbeda dengan Dzat-Nya

Kedua kemungkinan tersebut adalah batil, bahkan jelas-jelas termasuk kufur.

Adapun yang pertama, maka hal itu berarti adanya penyatuan antara makhluk dengan penciptanya, maka hal ini batil menurut ahlus sunnah dan menurut sebagian besar ahli bid’ah; karena Alloh tidak membutuhkan makhluk-Nya dari segala sisi.

Sedangkan yang kedua, maka hal itu berarti meniadakan sifat kalam bagi Alloh –Ta’ala-, karena sifat itu melekat dengan yang disifati –sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya- tidak bisa melekat kepada yang lainnya, jika sifat itu melekat kepada dzat lain maka ia akan menjadi sifatnya, maka dalam hal ini berarti Alloh dianggap tidak berbicara, yang demikian tentunya bentuk kekufuran yang nyata, sebagaimana yang kami jelaskan pernyataan tersebut.

Dalil yang kesembilan:

Saya mengetahui bahwa sifat itu tidak berdiri sendiri, jika sifat tersebut kepunyaan Sang Pencipta maka melekat dengan-Nya, jika sifat itu kepunyaan makhluk maka ia pun melekat denganya, maka pergerakan, diam, berdiri, duduk, kemampuan, keinginan, ilmu, kehidupan dan lain sebagainya dari semua sifat, jika disandarkan kepada sesuatu maka menjadi sifat sesuatu tersebut, ia selalu mengikuti dan melekat dengannya. Semua sifat tersebut jika disandarkan kepada makhluk maka menjadi sifatnya, dan jika sebagiannya disandarkan kepada Sang Pencipta seperti kekuasaan, keinginan, ilmu, kehidupan dan lain sebagainya, maka akan menjadi sifat-Nya karena disandarkan kepada-Nya. Jika disandarkan kepada makhluk maka ia termasuk makhluk, dan jika disandarkan kepada Sang Pencipta maka ia bukan makhluk.

Sifat kemampuan berbicara sama halnya dengan sifat-sifat yang lainnya, harus berada pada tempat tertentu, jika sifat tersebut berada di tempat tertentu maka ia menjadi sifat dari tempat tersebut, tidak menjadi sifat bagi selainnya. Jika sifat tersebut disandarkan kepada Sang Pencipta (Alloh) maka ia menjadi sifat-Nya, namun jika disandarkan kepada selain-Nya maka ia menjadi sifat dzat lain tersebut. Sifatnya Sang Pencipta bukanlah makhluk sebagaimana Dzat-Nya, sedangkan sifatnya makhluk juga berupa makhluk seperti halnya dirinya.

Ketika Alloh telah menyandarkan kalam kepada diri-Nya, maka kalam-Nya bukanlah makhluk; karena ia mengikuti Dzat-Nya, Dzat-Nya Alloh –Ta’ala- bukanlah makhluk, membicarakan kalam yang berupa sifat menjadi bagian dari kalam dalam bentuk dzat.

Jika dikatakan bahwa kalam itu makhluk.

Maka pendapat kami:

“Jadi Maha Suci Alloh dari mempunyai sifat yang berupa makhluk, kalian mengklaim telah mensucikan Alloh dari kesamaan-Nya dengan makhluk, sesuai dengan pendapat kalian tersebut, berarti kalian harus tidak menyandarkan kalam kepada-Nya, (jika tetap menyandarkannya) maka berarti anda mendustakan pendengaran dan akal yang menyaksikan bahwa Alloh mempunyai sifat kalam.

Akan tetapi mereka enggan untuk mengakui bahwa kalamullah bukanlah makhluk dengan bertumpu pada kebatilan sebelumnya mereka berkata:

“Kami menetapkan bahwa Alloh Maha Berbicara dengan kalam yang berdiri sendiri pada yang lainnya, Alloh –Ta’ala- berbicara kepada Musa dengan kalam yang diciptakan pada pohon, tidak langsung dari-Nya, karena kami mensucikan-Nya dari menyamakan-Nya dengan makhluk”.

Pendapat kami:

“Kalian telah menjadikan kalam menjadi sifat pada tempat tertentu yang memilikinya, maka pendapat kalian tersebut mengharuskan untuk dikatakan sebagai kalamnya pohon, karena berarti pohon itulah yang berbicara kepada Musa:

( يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ )،

“Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Alloh, Tuhan semesta Alam”.

Kalau demikian maka menjadi tidak ada perbedaan antara ucapan pohon dan ucapan Fir’aun yang terlaknat:

( أنا ربكم الأعلى )

“Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi”.

Karena ucapan pohon menjadi sifatnya, bukan sifat Alloh. Sedangkan ucapan Fir’aun adalah sifatnya, keduanya menyatakan sebagai Rabb (Tuhan). Maka Musa menjadi tidak benar jika mengingkari ucapan Fir’aun dan menerima ucapan sebuah pohon !!?

Maka Fikirkanlah dengan baik –semoga Alloh merahmati anda- tentang kekufuran yang nyata ini yang menjerumuskan pelakunya kepada bid’ah yang tercela, dan mereka tidak ridho dan menerima hakikat sesuai dengan yang diturunkan (melalui Al Qur’an). Mereka mengganti wahyu yang mulia dengan ide-ide murahan yang dipengaruhi oleh hawa nafsu.

Dalil aqli ini yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad –rahimahullah- kepada Jahmiyyah dan Mu’tazilah ketika berdiskusi dengan mereka di hadapan Al Mu’tashim, beliau berkata:

“Kisah Nabi Musa ini, Alloh sendiri yang berfirman di dalam kitab-Nya:

( وكلم الله موسى )

“Dan Alloh telah berbicara kepada Musa”.

Maka Alloh telah menetapkan berbicara kepada Musa sebagai bentuk kemuliaan dari-Nya kepada Musa, kemudian setelah itu Dia Alloh lanjutkan dengan kata:

( تكليما )

sebagai penguat dari ucapan tersebut.

Alloh –Ta’ala- berfirman:

يا موسى ( إنني أنا الله لا إله إلا أنا )

“Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Alloh yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Aku”.

Kalian mengingkari ini, maka berarti huruf: “Yaa” kembali kepada selain Alloh ?, maka bagaimana seorang makhluk mengklaim sebagai Tuhan !!?, ketahuilah bahwa (yang berbicara itu adalah) Alloh –‘Azza wa Jalla- sendiri”. (Diriwayatkan oleh Hambal dalam Al Mihnah: 52)

Dalil yang kesepuluh:

Termasuk di antara ucapan para ulama salaf dalam menetapkan aqidah ini:

Amr bin Dinar –salah satu Imam generasi Tabi’in- berkata:

“Saya hidup bersama para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan genarasi setelahnya sejak 70 tahun yang lalu, mereka mengatakan: “Alloh adalah Sang Pencipta, dan yang lain adalah makhluk. Al Qur’an adalah kalamullah yang berasal dari-Nya dan kepada-Nya akan kembali”.

Abdullah bin Nafi’ berkata: “Malik pernah berkata: “Al Qur’an adalah kalamullah, dan sangat tercela pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk”. (Diriwayatkan oleh Sholeh bin Ahmad dalam Al Mihnah: 66 dengan sanad yang shahih)

Rabi’ bin Sulaiman sahabat Imam Syafi’i dan muridnya berkata saat menceritakan diskusi antara beliau dengan Hafsh Al Fard dalam Al Qur’an:

“Maka Imam Syafi’i bertanya, Imam Syafi’i menyampaikan hujjahnya, diskusi yang panjang, maka Imam Syafi’i berhujjah bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk dan mengkafirkan Hafsh Al Fard. Ar Rabii’ berkata: “Saya bertemu dengan Hafsh Al Fard setelah majelis tersebut dan mengatakan: “Imam Syafi’i ingin membunuh saya”. (Diriwayatkan oleh Abdur Rahman bin Abi Hatim dalam Aadab Asy Syafi’i: 194-195 dengan sanad yang shahih)

Ibnu Abi Hatim berkata:

“Saya telah bertanya kepada bapak saya dan kepada Abu Zar’ah tentang madzhab-madzhab Ahlus Sunnah dalam masalah ushuluddin dan para tokoh ulama yang beliau berdua ketahui dan yang menjadi keyakinan beliau berdua ?

Beliau berdua menjawab:

“Kami telah mengetahui para tokoh ulama di semua kota di daerah Hijaz, Irak, Syam dan Yaman, maka di antara madzhab mereka bahwa iman itu ucapan dan perbuatan bisa bertambah dan berkurang dan Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk dari semua sisinya”. (Diriwayatkan oleh Thabrani dalam As Sunnah: 1/176 dengan sanad yang shahih)

Imam Abu Qosim Hibatullah bin Hasan Ath Thabari Al Lalika’i dalam karyanya yang besar “Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah merumuskan:

“Pendapat mengenai hal itu terhitung sebanyak 550 ulamanya umat dan generasi salafnya, semua mereka berkata: “Al Qur’an kalamullah bukan makhluk, dan barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk maka ia telah kafir”.

Beliau –rahimahullah- berkata:

“Mereka yang berjumlah 550 ulama atau lebih tersebut berasal dari kalangan tabi’iin, pengikut tabi’iin, para imam tidak termasuk para sahabat, pada masa yang berbeda, setelah bertahun-tahun berlalu, di antara mereka juga ada 100 para imam yang menjadi rujukan umat, mereka menjalankan agamanya dengan madzhab mereka. Dan jika anda sibuk menukil dari perkataan ahli hadits maka nama-nama yang muncul akan mencapai ribuan”. (As Sunnah: 493)

Secara ringkas dan dengan sedikit perubahan di salin dari buku “Al Aqidah As Salafiyah fii Kalam Rabbil Bariyyah wa Kasyfu Abathiil Al Mubtadi’ah Ar Raddiyah: 121-147.

Untuk pendalaman materi maka baca juga jilid 12 dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: “Al Qur’an Kalamullah” dan “Mukhtashor Ash Showa’iq Al Mursalah” karya Ibnu Qayyim.

Baca juga makalah yang bermanfaat untuk dibaca dalam masalah ini dengan judul: “Lima Kaana Al Qoulu bikholqil Qur’an Kufran ? wal Kalam An Nafsi ? karya Syeikh Amr Basyuni .

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam