Kamis 18 Ramadhan 1445 - 28 Maret 2024
Indonesian

Apakah Boleh Wanita Meminta Mahar Agar Suaminya Meninggalkan Rokok? Pembicaraan Seputar Mahar

151108

Tanggal Tayang : 01-12-2015

Penampilan-penampilan : 14967

Pertanyaan

Saya akan menikah dalam waktu dekat insya Allah dengan seorang yang taat beragama, Alhamdulillah, akan tetapi problemnya adalah bahwa dia perokok. Dia berjanji bahwa dirinya akan meninggalkan rokok dan dia telah mulai berusaha. Akan tetapi, sebagaimana anda ketahui, bahwa masalah tersebut tidak mudah, karena itu saya berpikir untuk memotivasinya dengan berbagai cara, lalu muncul lintasan pikiranku untuk menyampaikan kepadanya yaitu agar menjadikan mahar untukku dalam bentuk dia meninggalkan rokok. Apakah hal ini dibolehkan menurut syarat? Saya tidak merasa mendesak untuk mendapatkan harta, dan dia dapat dengan mudah memberikan harta yang saya inginkan kapan saya mau. Apakah boleh hal ini kami sembunyikan agar tidak menimbulkan keributan di tengah masyarakat, karena masyarakat terbiasa mengeluarkan mahar dalam bentuk harta, sehingga perkara ini akan menjadi bahan pembicaraan yang tidak penting bagi mereka, sebagaimana hal tersebut dapat membuat suami saya merasa tidak enak. Atau dengan cara lain, bolehkah dia memberiku sedikit harta saja sebagai syarat untuk melakukan pencatatan resmi dan menghindari omonngan masyarakat, adapun mahar asli adalah perkara yang kami sepakati yaitu agar sang suami meninggalkan rokok? Mohon maaf jika pertanyan ini tampak konyol, tapi bagiku ini penting, sekarang ini tidak ada yang paling aku inginkan selain dia meninggalkan rokok.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Pertanyaan anda tidaklah konyol, tapi penting dan hal tersebut menunjukkan kecemerlangan akal dan kekokohan agama anda, insya Allah.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mahar harus dalam bentuk harta atau manfaat yang dapat diambil upahnya, seperti mengajarkan isteri dengan ilmu yang dibolehkan.

Hal tersebut ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ  (سورة النساء: 24) .

“Dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” SQ. An-Nisaa’: 24

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 39/155-156,

“Jumhur Fuqoha, mazhab Maliki, Syafii dan Hanabilah berpendapat bahwa segalah sesuatu yang bernilai, atau dinilai (barang yang ada harganya) atau yang dapat diambil upahnya, maka dia boleh dijadikan sebagai mahar.

Kalangan mazhab Hanafi secara tegas menyatakan bahwa mahar harus berbentuk harga berharga di tengah masyarakat, jika yang disebut berupa harta, maka hal itu sah, jika tidak maka tidak sah.

Adapun jumhur ulama berpendapat boleh mahar itu dalam bentuk manfaat yang dapat diambil upahnya.

Disebutkan juga di dalamnya, 39/156,

Ulama kalangan mazhab Maliki dalam pendapatnya yang masyhur begitupula dari mazhab Syafii dan Hambali berpendapat dibolehkannya sesuatu manfaat dijadikan mahar, berdasarkan kaidah asal mereka bahwa sesuatu yang dapat diambil upahnya maka dia boleh disebut sebagai mahar. Maka dia boleh menjadikan manfaat rumahnya, atau hewannya atau budaknya selama setahun sebagai mahar bagi isterinnya, atau menyebutkan bahwa maharnya adalah dengan dia bekeja di sawahnya atau membangun rumah atau menjahit baju atau melakukan haji badal, misalnya.

Demikian, jelaslah bahwa para ulama melarang mahar dalam bentuk yang telah anda jelaskan dan menganggap perkara tersebut tidak sah.

Terdapat riwayat bahwa Ummu Sulaim radhiallahu anha mensyaratkan Abu Thalhah yang hendak menikahinya untuk masuk Islam dan menjadikn masuk Islamnya dia sebagai maharnya.

Dari Anas radhiallahu anhu, dia berkata, ‘Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim. Maka dia berkata, ‘Demi Allah, orang seperti anda wahai Abu Thalhah tidak ditolak (lamarannya), akan tetapi anda ini orang kafir sedangkan saya wanita muslimah, tidak halal bagi saya menikah dengan anda. Jika anda masuk Islam, maka itulah mahar untuk saya dan saya tidak minta lagi selainnya.’ Maka Abu Thalhah masuk Islam dan hal itu menjadi maharnya.” Tsabit berkata, “Aku belum pernah melihat seorang wanita pun yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim.” (HR. Nasa’I, no. 3341, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9/115 dan dia membantah orang yang menyatakan bahwa kandungan hadits ini mengandung cacat, Al-Albany menyatakannya shahih dalam Shahih An-Nasai. An-Nasai sendiri meletakkan hadits ini dengan bab berjudul ‘Menikah dengan mahar Islam’.

Hadits ini dengan jelas menunjukkan disyaratkannya sang suami masuk Islam dan menjadikan hal tersebut sebagai mahar, dan tentu saja itu bukan harta. Akan tetapi, kemungkinan hal itu dipahami sebagai kekhususan masalah ini karena besarnya manfaat di dalamnya, dan dapat juga dipahami sebagai syarat ketaatan suami yang harus dilakukan atau kemaksiatan yang harus dia tinggalkan.

Kesimpulannya, agar maharnya dianggap sah tanpa ada keraguan adalah dibuat kesepakatan bersama calon suami tentang jumlah harta tertentu yang akan dijadikan mahar, walaupun sedikit dan disyaratkan agar dia meninggalkan maksiat tersebut (rokok) sebelum dilaksanakan pernikahan.

Akan tetapi kami nasehatkan kepada anda agar jangan melangsungkan pernikahan sebelum tampak padanya taubat dan kejujuran dalam meninggalkan maksiat tersebut.

Kami mohon kepada Allah semoga urusan anda dimudahkan dan anda diberikan suami yang saleh serta diberikan keturunan yang baik.

Wallahua’lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam