Senin 16 Muharrom 1446 - 22 Juli 2024
Indonesian

Apakah Disyari’atkan Pura-pura Menangis di Dalam Shalat ?

323358

Tanggal Tayang : 12-08-2024

Penampilan-penampilan : 0

Pertanyaan

Jika anda tidak bisa menangis di dalam shalat, lalu apakah perlu pura-pura menangis ?

Ringkasan Jawaban

Menangis di dalam shalat adalah pengaruh khusu’ di dalam shalat, adapun pura-pura menangis maka terdapat hadits yang lemah, dan jikapun benar maka artinya adalah merasakan kesedihan dan hadirnya hati dan bukan dengan mengeluarkan suara tangisan yang dibuat-buat.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Menangis di dalam shalat adalah pengaruh dari kekhusu’an di dalamnya, dan Allah Ta’ala telah memuji mereka orang-orang yang khusu’ di dalam shalat mereka, Allah Ta’ala berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ ‌خَاشِعُونَ

المؤمنون/ 1-2].

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya”. (QS. Al Mu’minun: 1-2)

Ibnu Jazi –rahimahullah- berkata:

“Khusu’ adalah kondisi hati dari rasa takut, merasa diawasi, merasa hina pada keagungan Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian pengaruhnya akan tampak kepada anggota tubuh dengan ketenangan, dan bersegera menuju shalat, dan tidak berpaling, menangis dan tunduk”. Selesai. (Tafsir Ibnu Jazi: 2/48)

Maka menangis di dalam shalat dari rasa takut kepada Allah adalah disyari’atkan dan diminta. Allah Ta’ala berfirman:

وَيَخِرُّونَ ‌لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

الإسراء/109

“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'”. (QS. Al Isra’: 109)

Al Qurtubi –rahimahullah- berkata: “Firman Allah: يبكون adalah dalil akan bolehnya menangis di dalam shalat kerena takut kepada Allah Ta’ala, atau akan maksiat kepada-Nya dalam agama Allah, dan bahwa tidak akan memutus dan membahayakannya”. Selesai. (Tafsir Al Qurthubi: 10/342)

Dan telah ada shahih dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya bahwa mereka telah menangis di dalam shalat karena khusu’ kepada Allah.

Dari Abdullah bin As Syakhhir –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي وَلِجَوْفِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَلِ [القِدْر] - يَعْنِي يَبْكِي رواه النسائي (1214)، وصححه الألباني.

“Saya telah mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- saat beliau dalam kondisi shalat, dan pada perut beliau gemuruhnya panci –maksudnya adalah menangis”. (HR. Nasa’i: 1214 dan telah ditashih oleh Albani)

Dan dari ‘Aisyah Ummil Mukminin bahwa Rasulullah –shallalahu ‘alaihi wa sallam- bersabda pada saat sakit:

( مُرُوا أَبَا بَكْرٍ يُصَلِّى بِالنَّاسِ)، قَالَتْ عَائِشَةُ : قُلْتُ : إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ ، فَمُرْ عُمَرَ فَلْيُصَلِّ ...الحديث" رواه البخاري (716

“Sampaikan kepada Abu Bakar untuk menjadi imam shalat berjama’ah”. Aisyah berkata: “Saya berkata: “Sungguh Abu Bakar jika berdiri di tempat anda, beliau tidak bisa memperdengarkan bacaan (Al Qur’an) karena menangis, maka perintahkan kepada Umar untuk memimpin shalat... Al Hadits”. (HR. Bukhori: 716)

Maka menangis ini karena pengaruh dari rasa khusu’, akan tetapi tidak bisa menangis bukan berarti tidak khusu’, maka para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- telah mensifati shalatnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mereka tidak menyebutkan menangis di dalamnya, dan beliau sebagai penghulu dari orang-orang yang khusu’.

At Thabari telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- pada firman Allah: " الذين هم في صلاتهم خاشعون " beliau berkata: “Mereka orang-orang yang takut dan tenang”. (Tafsir At Thabari: 17/10)

Syeikh Al Amin As Syinqithi –rahimahullah ta’ala- berkata:

“Hukum asal dari khusu’an adalah ketenangan, tuma’ninah dan kerendahan hati”

Dan menurut syari’at adalah hadirnya rasa takut kepada Allah terdapat di dalam hati, maka pengaruhnya akan nampak pada anggota tubuh”. (Adhwa’ul Bayan: 5/825)

Kedua:

Tangisan yang terpuji adalah yang mendominasi pelakunya, dari kelembutan hatinya, dan khusu’nya di dalam shalatnya, dan pada saat mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya.

Dan barang siapa yang tangisannya tidak hadir, maka sebaiknya tidak terlewatkan dari tertinggalnya tadabbur, dan khusu’nya hati dan fisik ini tidak terkait antar keduanya, bisa jadi hatinya khusu’ akan tetapi tanpa menangis pada mata, dan bisa jadi mata menangis dan hatinya tidak khusu’ dan inilah seburuk-buruknya kondisi –na’udzubillah-.

Adapun hadits:

(إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ، فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا، فَإِنْ لَمْ ‌تَبْكُوا ‌فَتَبَاكَوْا) رواه ماجه (1337) فهو حديث ضعيف لا يصح

 “Sungguh Al Qur’an ini telah turun dengan kesedihan, maka jika kalian membacanya maka menangislah, dan jika kalian tidak bisa menangis, maka pura-pura-lah menangis”. (HR. Ibnu Majah: 1337)

Hadits ini lemah tidak shahih.

Al Bushiri berkata:

“Pada sanadnya terdapat Abu Rafi’ dan namanya adalah Ismail bin Rafi’, ia lemah dan tertinggal”

(Mishbah Az Zujajah di dalam Zawaid Ibnu Majah: 1/157) dan telah dinyatakan lemah oleh Albani

Dan kalau anggap saja haditnya shahih, maka makna dari pura-pura menangis dan merasakan kesedihan di dalam hati, dan tidak menimbulkan suara yang dibuat-buat seperti menangis, maka hal ini termasuk berlebihan yang dilarang, bahkan sebagian para ulama telah menyatakan bahwa dengan bersengaja menimbulkan suara keras tangisan akan membatalkan shalat.

Al Fiumi –rahimahullah- berkata:

“Ibnu Abbas berkata: “Jika ia membaca ayat sajdah Subhana, maka janganlan kalian terburu-buru untuk bersujud sampai menangis, dan jika mata salah seorang dari kalian tidak menangis, maka hendaknya hatinya yang menangis, dan cara berlebihan dalam menangis dengan cara menghadirkan kesedihan hati”. Selesai. (Fathul Qariib Al Mujiib ‘ala Targhib wa Tarhiib: 7/121)

Dan yang mulia Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- pernah ditanya:

“Apa hukumnya berpura-pura menangis ? dan keshahihan riwayat yang menyatakan hal ini ?

Maka beliau menjawab:

“Telah ada di dalam sebagian hadits:

إن لم تبكوا فتباكوا  

“Jika kalian tidak bisa menangis, maka berpura-puralah menangis”.

Akan tetapi saya tidak tahu keshahihan hadits ini. Dan yang paling nampak adalah tidak perlu berlebihan, bahkan tidak terjadi menangis maka hendaknya berusahalah dengan keras agar tidak mengganggu orang lain, akan tetapi menangis ringan yang tidak mengganggu seseorang sesuai kemampuan dan kemungkinan yang ada”. Majmu’ Fatawa wa Maqalaat: 11/347)

Syeikh Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:

“Bagaimanakah hukumnya berpura-pura menangis di dalam shalat berjama’ah di masjid dengan suara keras untuk menghadirkan rasa khusu’ ?

Beliau menjawab:

“Berpura-pura menangis sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang adalah tidak dibenarkan di dalam syari’at”.

Adapun menangis yang datang dari kekhusu’an hati dan menghadirkannya untuk mengagungkan Allah dan takut kepada-Nya, maka hal inilah yang disyari’atkan. Dan jika nampak keluar suara tanpa ia sadari, dan tidak dibuat-buat maka tidak masalah.

Akan tetapi berpura-pura menangis maka hal ini termasuk perkara yang tidak disyari’atkan dan tidak sebaiknya dilakukan, akan tetapi yang sebaiknya dilakukan tadabbur bagi seseorang adalah kalamullah

Azza wa Jalla, dan jika ia mentadabburinya dengan jujur dan mengenali artinya, maka hatinya akan lembut dan khusu’ dan manangis pada saat disebutkan siksa karena takut darinya, dan pada saat disebutkan pahala ia ingin sekali meraihnya, dan pada saat penyebutan Allah untuk mengagungkan-Nya, dan pada saat disebutkan Rasul –shallallahu a’alaihi wa sallam- dan sirahnya, sebagai bentuk cinta dan rindu kepada beliau”. Selesai. (Al Liqo’ As Syahri: 5/8 sesuai dengan penomoran Syamilah)

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam